Sejarah Kepanduan : Sri Sultan Hamengku Buwono IX Pendiri Gerakan Pramuka
Siapa yang tak kenal Sultan Hamengkubuwono IX. Tokoh nasional yang
banyak berjasa dalam perkembangan dunia kepanduan di negeri ini. sosok
Sultan Hamengkubuwono begitu melekat di hati para pramuka. Ya, tokoh
nasional yang sempat menjabat sebagai wakil presiden RI ini pun
disebut-sebut sebagai bapak pramuka Indonesia.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX ( Sompilan Ngasem, Yogyakarta, 12
April 1912 – Washington, DC, AS, 1 Oktober 1988 ) adalah seorang Raja
Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau
juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Beliau
juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat
sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1961 – 1974)
Biografi
Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun pada 12 April 1912,
HamengkubuwonoIX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan
Raden Ajeng Kustilah. Diumur 4 tahun Hamengkubuwono IX tinggal pisah
dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO
di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di
Universiteit Leiden, Belanda.
Ketika berusia 3 tahun, beliau diangkat menjadi putera mahkota
(calon raja) dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku
Negara Sudibya Raja Putera Narendra ing Mataram. Dan sejak usia 4 tahun
beliau sudah hidup terpisah dari keluarganya, dititipkan pada keluarga
Mulder seorang Belanda yang tinggal di Gondokusuman.
Konon, orangtuanya menginginkan sang putra mahkota ini lebih
mendapat pendidikan yang penuh disiplin dan gaya hidup yang sederhana
sekalipun ia putra seorang raja.
Dalam keluarga Mulder itu beliau diberi nama panggilan Henkie yang
diambil dari nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Negeri
Belanda. Henkie mulai bersekolah di taman kanak-kanak atau Frobel School
asuhan Juffrouw Willer yang terletak di Bintaran Kidul.
Pada usia 6 tahun beliau masuk sekolah dasar Eerste Europese Lagere
School dan tamat pada tahun 1925. Kemudian beliau melanjutkan
pendidikan ke Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di
Semarang dan kemudian di Bandung. Dan di tahun 1931, beliau berangkat ke
Belanda untuk kuliah di Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan
Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi. Akhirnya beliau
kembali ke Indonesia pada tahun 1939.
Di Universitas Leiden, Belanda, ia tak sempat merampungkan
studinya. Begitu mempersiapkan skripsi dalam bidang indologi, telegram
ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, datang. Daradjatoen diminta
pulang. Ayahnya menjemput di Batavia, kini Jakarta. Ayah dan anak
menginap di Hotel Des Indes, sekarang pusat pertokoan Duta Merlin. Tidak
ada pembicaraan serius antara keduanya. ”Kami tak ada waktu untuk itu.
Terlalu banyak acara yang harus dipenuhi,” tutur Daradjatoen.
Salah satu acara penting adalah, Daradjatoen menerima keris pusaka
Kiai Jaka Piturun di sebuah kamar hotel dari ayahnya sendiri. ”Keris
pusaka yang sampai sekarang tersimpan baik di keraton itu adalah yang
selalu diserahkan oleh raja kepada seseorang yang diinginkannya menjadi
putra mahkota. Dengan penyerahan keris itu, menjadi jelaslah maksud ayah
saya dan saudara-saudara saya,” tutur Daradjatoen beberapa tahun
kemudian — setelah menjadi Hamengkubuwono IX — seperti tertulis dalam
buku biografinya, Tahta untuk Rakyat. Dan rencana itu memang berjalan
mulus. Ia dilantik menjadi Putra Mahkota pada 18 Maret 1940, lima bulan
setelah ayahnya wafat (22 Oktober 1939), dengan gelar Pangeran Adipati
Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. Selang lima
menit kemudian, di tempat yang sama, Bangsal Manguntur Tangkil — tempat
para Sultan biasa bersemadi — ia dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta
dengan gelar: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku
Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah
Kaping IX. Ucapannya yang sangat terkenal pada saat pelantikan itu
adalah, ”Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya,
namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa,” kata Sultan baru
ini.
Menjelang masuknya Jepang, bangsawan Jawa banyak yang khawatir akan
tentara penjajah yang menggantikan Belanda ini. Mereka mengajak Sultan
menyingkir ke Australia, atau ke Belanda. ”Apa pun yang terjadi, saya
tidak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib
berada di tempat, demi keselamatan keraton dan rakyat,” katanya.
Tidaklah aneh kalau Raja Yogya ini ikut berjuang di masa perjuangan
kemerdekaan. Andilnya besar dalam perundingan-perundingan dengan
Belanda. Sudah banyak diketahui, bagaimana sikap Sultan membela tanah
airnya, dan membela keutuhan keraton. Jabatan-jabatan di luar keraton
yang dipegangnya juga bukanlah enteng. Sultan menjadi Menteri Negara
(1946-1949), Menteri Pertahanan Koordinator Keamanan Dalam Negeri
(1949), Wakil Perdana Menteri (1950-1951). Di masa Orde Baru, ia Wakil
Presiden (1973-1978).
Nama panggilannya di masa kecil memang berbau Eropa: Indische
Padvinders Club). Di sinilah ia mendapat kepandaian memasak. Kelak,
setelah menjadi orang penting, ia punya klub memasak tak resmi.
Anggotanya, Radius Prawiro, Budiardjo, Frans Seda, Surono Reksodimedjo,
Soegih Arto, Ashari Danudirdjo, dan D. Suprayogi. ”Tetapi kini saya
jarang memasak lagi,” kata Sultan.
Istri Sultan HB IX yang dikenal dan setia mengikuti upacara di
Keraton Yogya, ada empat: B.R.A. Pintoko Poernomo yang memberi lima
anak, B.R.A. Windijaningroem yang memberi empat anak, B.R.A.
Hastoengkoro memberi enam anak, dan B.R.A. Tjiptomoerti memberi enam
anak. Yang mengagetkan, suatu ketika, di depan keempat istrinya itu,
Sultan menyatakan, tidak seorang pun yang berstatus garwa padmi
(permaisuri). Konsekuensi pernyataan ini adalah, tidak akan ada Putra
Mahkota, dan itu berarti tidak ada tanda-tanda munculnya Sultan HB X,
sebagai penggantinya.
Tjiptomoertilah yang menemani Sultan di Jakarta, selama ia memegang
berbagai jabatan penting.
Beberapa bulan setelah Tjiptomoerti wafat, 30
Maret 1980, Sultan menikahi Norma, wanita dari Kampung Tanjung, Mentok,
Pulau Bangka — yang dibawa Bung Karno dan dijadikan anak angkatnya di
Jakarta. Kabarnya, tak pernah diajak Sultan ke Keraton Yogyakarta.
Bersama Norma, Sultan aktif dalam berbagai kegiatan usaha dan mengurusi
olah raga. Hari ulang tahun Sultan belakangan ini selalu dirayakan di
cabang-cabang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tempat Sultan HB IX
menjabat Presiden Komisaris Kehormatan. Ulang tahun ke-73 (1985)
dirayakan bersamaan dengan peresmian BDNI Cabang Semarang.
Beliau merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan
mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar
pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat
“Istimewa”. Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada
kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun
1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin.
Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir
masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali
sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang
mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai
Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut
pada KKN.
Ketika Jakarta sebagai ibukota RI mengalami situasi gawat, HB IX
tidak keberatan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Begitu juga ketika
ibukota RI diduduki musuh, beliau bukan saja tidak mau menerima bujukan
Belanda untuk berpihak pada mereka. Tapi mengambil inisatif yang
sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk mengijinkan para
gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada serangan umum 1 Maret
1949. Jelaslah bahwa beliau seorang raja yang republiken. Setelah
bergabung dengan RI, HB IX terjun dalam dunia politik nasional.
Dan di tahun 1968, beliu diangkat sebagai Ketua Kwartir Nasionl
Gerakan Pramuka hingga tahun 1978. Sebagai pemimpin organisasi
kepanduan, beliau pun termasuk tokoh yang mendapat anugerah Bronze Wolf
Award dari World Organization of Scout Movement (WOSM). Inilah
penghargaan tertinggi dalam dunia kepanduan. Selain beliau, tokoh
kepanduan Indonesia yang pernah menerima Bronze Wolf Award. yaitu
Mashudi, H Azis Saleh, dan Liem Beng Kiat.
Sultan Yogya ini gemar menonton silat. Ketika tidak lagi menjabat
Wakil Presiden, kegemaran akan silat ini disalurkannya melalui video.
Dan begitulah, pada Juli 1985, sehabis menyaksikan tak kurang dari
sepuluh seri cerita silat Mandarin, Sri Sultan terjatuh ketika menuju
kamar mandi.
Sekitar dua minggu Sultan terbaring di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. Acaranya yang penting, menandatangani perjanjian
kerja sama antara Kota Yogya dan Kota Kyoto, Jepang, harus diwakilkan
kepada Sri Paku Alam VIII, Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dan Sri Sultan tetap harus banyak beristirahat, sehingga penyulutan Api
PON XI yang rencananya dilakukannya sendiri, sebagai Ketua Umum KONI
Pusat, juga diwakilkan.
Akhirnya, beliau menghembuskan nafas terakhir, pada 1 Oktober 1988
di RS George Washington University Amerika Serikat pukul 04.30 waktu
setempat. Seminggu kemudian, tepatnya 8 Oktober 1988, jenazah beliau
dikebumikan di Astana Saptarengga, komplek pemakaman Raja Mataram di
Imogiri, sekira 17 km selatan kota Yogyakarta.
Jabatan Sultan Hamengkubuwana IX dalam masa Revolusi Nasional Indonesia sekitar akhir 1940-an :
• Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
• Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947)
• Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 – 11 November 1947 dan 11 November 1947 – 28 Januari 1948)
• Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949)
• Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949)
• Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 – 6 September 1950)
• Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951)
• Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
• Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
• Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far
East) dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo
Plan (1957)
• Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
• Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
• Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
• Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
• Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
• Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
• Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
• Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
• Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 – 23 Maret 1978)
Pahlawan Nasional . Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Soekarnoputri.